Hal-Hal Umum tentang Pemilihan Umum
October 20, 2023Penghayat Kepercayaan dalam Dinamika Pemilihan Umum
October 22, 2023Makna
Menuju 2024, Awas Politik Identitas!
oleh Anne Shakka
Sadarkah kita bahwa sejak lahir kita sudah dimasukkan ke dalam kotak-kotak tertentu yang disebut dengan identitas?
Di Indonesia terutama, seorang anak yang lahir akan langsung diidentifikasi jenis kelaminnya sebagai lelaki atau perempuan, serta diberi nama yang sesuai dengan gender, budaya, dan agama orang tuanya. Anak ini juga akan diajak untuk mengikuti adat atau kebiasaan dari tradisi atau agama yang dianut oleh orang tuanya, seperti dibaptis, diakikah, atau nelu bulanin dalam agama Hindu.
Gender, agama, etnis, kelas sosial adalah kategori sosial yang membentuk identitas kita. Seiring berjalanannya waktu, kategori identitas yang kita miliki juga bisa terus berkurang, bertambah, atau berubah. Kita menjadi anak sekolah, menyukai musik tertentu, atau tergabung dalam klub olahraga yang kita suka. Hal-hal itu juga membentuk identitas yang kita miliki dan sering kali memengaruhi keputusan-keputusan yang kita ambil. Barang yang mau kita beli, makanan yang boleh atau tidak boleh kita makan, baju yang kita pakai, sampai cara kita menunjukkan diri pada orang di sekitar kita dipengaruhi oleh identitas yang disematkan pada diri kita.
Selain memengaruhi diri sendiri, identitas ternyata juga memengaruhi cara orang lain memperlakukan kita. Hal itu biasa disebut dengan identitas sosial. Selain itu, ada juga stereotipe, dimana suatu kelompok tertentu mendapatkan suatu label atau persepsi yang ditempelkan kepada seluruh anggota kelompoknya.
Sebagaimana yang saya alami sebagai orang Cina keturunan di Indonesia, sering kali saya mendapatkan pandangan sebagai orang kaya, pelit, punya toko, atau Kristen. Bisa jadi pandangan ini benar, tapi seringkali hal ini terlalu menyederhanakan, karena setiap kelompok pasti memiliki banyak variasi dan perbedaan.
Identitas dan Politik Identitas
Istilah politik identitas bisa dipahami sebagai kecenderungan seseorang dari suatu kelompok agama, ras, etnis, dan latar belakang sosial lainnya untuk membentuk suatu kelompok yang eksklusif. Politik identitas ini, di satu sisi, akan membentuk suatu rasa kepemilikan atau rasa menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu, tetapi di sisi lain juga akan menimbulkan rasa keterpisahan. Akan terjadi pembagian “kelompok kita” versus “kelompok mereka”. Menurut Dareen O’Byrne, Sosiolog asal Inggris, dalam bukunya The Dimensions of Global Citizenship, Political Identity Beyond the Nation-State, politik identitas selalu terkonstruksi secara sosial dan selalu terjadi negosiasi secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari.
Kesamaan identitas yang kita miliki ini, kerap menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Biasanya, para politisi akan menunjukkan dirinya sebagai bagian dari suatu kelompok agama atau etnis tertentu untuk mendapatkan dukungan dari kelompok tersebut. Penggunaan politik identitas ini juga tidak terlepas dari kampanye yang dilakukan melalui media digital sebagai salah satu cara yang potensial untuk mendapatkan suara pemilih berusia muda. Terutama para pemilih pemula yang pada tahun 2014 lalu sejumlah 67 juta orang dan naik menjadi 100 juta orang pada 2019. Jumlah pemilih muda ini akan semakin besar di tahun 2024 mendatang yang mencapai angka 107 juta.
Media internet juga menjadi arena panas dalam beberapa kali penyelenggaraan Pemilu. Para pendukung masing-masing kandidat tidak segan melakukan aksi peperangan di media sosial, misalnya perang tagar antar-pendukung dan saling mengejek dalam kolom komentar. Bahkan, konflik antar-pendukung bisa jadi lebih panas daripada para calon yang sedang berkampanye.
Politik Identitas di Indonesia
Di Indonesia sendiri, sering kita melihat para politisi berkampanye dengan atribut keagamaan tertentu. Masih segar dalam ingatan adalah pada saat pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017 lalu, di mana identitas agama menjadi alat yang digunakan untuk memobilisasi suara salah satu pasangan gubernur.
Pada masa pemilihan presiden tahun 2019 pun begitu. Pada waktu itu sempat muncul istilah Cebong, Kampret, atau Kadrun yang dikenakan pada pendukung calon presiden tertentu. Cebong bagi pendukung Joko Widodo, Kampret sebagai pendukung Prabowo, dan Kadrun dianggap sebagai Islam fanatik yang merupakan pendukung Anies Baswedan.
Selain menunjukkan bahwa politisi tersebut adalah bagian dari suatu kelompok, politik identitas ini bisa juga digunakan untuk menggerakkan manusia dengan cara yang lain. Dalam pemilihan presiden 2019 kemarin, salah satu ketakutan orang keturunan Cina dalam memilih Prabowo adalah karena dia terlibat dalam kerusuhan 1998 yang merupakan trauma besar bagi orang keturunan Cina di Indonesia.
Akibat dari adanya mobilisasi masa berdasarkan identitasnya, maka terbentuklah “kelompok kita” dan “kelompok mereka”. Pandangan yang menyertai adalah kelompok kita merupakan orang baik, sedangkan kelompok mereka pasti orang jahat. Pandangan ini disebarluaskan dengan masifnya sosial media untuk menjelek-jelekkan kelompok lawan dan memuji kelompok sendiri. Algoritma media sosial pun membuat kita berada dalam gelembung di mana kita hanya akan melihat pandangan-pandangan dari kelompok yang kita suka saja.
Jika hal ini tidak disadari dan terus berlanjut, bisa jadi ada pandangan bahwa kelompok lain layak untuk dimusnahkan. Banyak contoh kekerasan, bahkan pembunuhan besar-besaran (genosida), yang terjadi karena perbedaan etnis, agama, maupun pandangan politik yang berbeda. Holocaust di Jerman adalah salah satu contohnya. Di Indonesia sendiri juga beberapa kali terjadi seperti pembantaian tahun 1965 dan kerusuhan di tahun 1998 yang menyerang orang keturunan Cina di Indonesia.
Sementara Jokowi dan partainya, sudah sekian lama memiliki reputasi sebagai partai nasionalis yang akan melindungi kelompok-kelompok minoritas. Namun, apakah benar demikian dalam kenyataannya? Apakah ketika Prabowo yang menang kondisi kelompok minoritas akan lebih buruk daripada saat dipimpin Jokowi? Kita tidak tahu. Namun, ketakutan tersebut ada dan seringkali digunakan untuk memobilisasi suara pemilih, baik untuk berpihak atau untuk membuat pemilih menghindari dan membenci kelompok lawan.
Bagaimana Memandang Politik Identitas Saat Ini?
Panasnya tensi Pemilu 2024 sudah mulai terasa saat ini. Sebagai kaum muda, kita tidak bisa untuk tidak peduli, karena mau tidak mau, pemerintah yang akan menentukan banyak hal dalam kehidupan kita di masa mendatang. Kebebasan kita dalam berpendapat, orang yang bisa kita nikahi, agama apa yang bisa kita pilih, tata cara kita harus membayar pajak, sampai kemudahan mengurus birokrasi, itu semua ditentukan oleh pilihan politik kita saat ini.
Identitas yang kita miliki adalah hal yang penting yang menggambarkan siapa diri kita. Identitas juga menjadi penanda kita merupakan bagian dari kelompok tertentu, baik itu kita pilih dengan suka rela, ataupun identitas yang sudah terberi seperti gender, etnis, dan agama. Namun, perlu juga disadari bahwa ada banyak lapisan identitas lain yang yang juga kita miliki, seperti usia, pendidikan, kelas sosial, pekerjaan, bahasa, orientasi seksual, pandangan politik, kewarganegaraan, hobi, dan lain sebagainya.
Sebagai orang muda, kita juga tidak bisa untuk tidak peduli pada Pemilu, karena mau tidak mau, pemerintah yang akan menentukan banyak hal dalam kehidupan kita di masa mendatang ~ Anne Shakka Share on XIdentitas kita semua selalu majemuk, dan begitu juga identitas orang lain. Tidak akan pernah ada kotak identitas yang akan benar-benar pas untuk dimasuki semua orang. Banyaknya lapisan ini mungkin bisa kita pertimbangkan sejenak sebelum kita memasukkan orang dalam kelompok lawan, atau sebelum kita memutuskan menjadi bagian dalam kelompok identitas tertentu yang menyingkirkan bentuk identitas yang lain.
Maka dari itu, jadilah pemilih yang rasional. Mari kita pelajari dengan baik siapa calon-calon Presiden atau anggota DPR yang akan mewakili daerah kita. Pelajari dengan baik program yang mereka tawarkan dan bagaimana rekam jejaknya. Apakah pernah korupsi atau terlibat kejahatan tertentu? Bagaimana rekam jejak dukungan mereka pada pengesahan undang-undang tertentu?
Bacaan Lebih Lanjut
Hall_Who_Needs_Identity.pdf (mtu.edu) Heryanto, Ariel. (2015). Identitas dan Kenikmatan, Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: KPG Jenkins, Richard. (2008). Social Identity, Third Edition. New York: Routledge Lawler, Steph. (20140. Identity Sociological Perspectives, second edition. Cambridge: Polity Press. Sen, Amartya. (2016). Kekerasan dan Identitas. Tangerang Selatan: Marjin Kiri |
Anne Shakka, lulus S1 di bidang psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Kajian Budaya di Universitas yang sama. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis dan peneliti. Pernah menerbitkan sebuah buku berjudul, “Cilik-cilik Cina, Suk Gedhe meh Dadi Apa?” Penulisan yang sering ia lakukan adalah seputar tema identitas, gender, rasisme, dan autoetnografi.
Artikel Terkait
Memaknai Politik melalui Kacamata Mereka yang Teropresi
Di Catatan Pinggir ini, Elvira Rumkabu (Ira) bercerita tentang pandangan politiknya sebagai seorang perempuan Papua. Ira tersadar bahwa perempuan Papua perlu terlibat di politik praktis untuk merebut kekuasaan yang didominasi karakter maskulin.Kaum Muda dan Pemilu: Membangun Kesadaran yang Utuh
Kaum muda memang penting berpartisipasi dalam Pemilu. Tapi, sudahkah dunia politik praktis ramah pada kaum muda? Bagaimana kaum muda bisa berpartisipasi secara bermakna dalam proses politik?Di mana Posisi Perempuan dalam Pemilihan Umum?
Bias gender jadi persoalan utama minimnya representasi perempuan di politik. Tapi, banyaknya jumlah pemilih perempuan bisa jadi peluang untuk memudahkan langkah perempuan memenangkan Pemilu.