Pernahkah kamu bertanya, bagaimana kita bisa menilai suatu hal, perilaku, atau fenomena sosial tertentu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas? Siapa yang menentukannya?
Meskipun dalam teori politik dan demokrasi seorang warga negara sering digambarkan sebagai manusia rasional, pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita sering dikuasai emosi. Memikirkan kembali Pemilu 2019 yang baru saja lewat, di Catatan Pinggir kali ini, Laila Achmad membahas mengenai sulitnya menjadi seorang pemilih rasional.
Banyak pertanyaan di masyarakat awam ketika harus masuk ke TPS pada Pemilu 2019 lalu, mengapa ada banyak surat suara yang harus dicoblos? Kenapa kita harus memilih DPR, DPD, Presiden, dan sebagainya? Apa beda fungsi tiap lembaga ini? Dalam artikel ini, semua akan dibahas sebagai bagian dari Trias Politika di Indonesia.
Lirik lagu Mars Pemilu 2019 mencerminkan semangat demokrasi modern Indonesia dengan lugas hanya dalam sembilan baris singkat. Lagu ini menggarisbawahi pentingnya hak pilih rakyat bagi keberlangsungan negara Republik Indonesia sebagai negara demokrasi muda yang hampir berusia 74 tahun. Lalu bagaimana keadaan demokrasi Indonesia saat ini?
Ini akan terdengar sebagai suatu pembuka bacaan yang klise, namun kata ‘Politik’ sudah menjadi bagian dari makanan sehari-hari kita sebagai masyarakat Indonesia. Namun, apakah Politik itu menjadi asupan yang kita santap dengan penuh antusiasme?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menemukan beragam pemaknaan orang-orang terhadap 'etnis'. Baik di daerah yang terdapat berbagai macam kultur atau daerah yang cenderung seragam budayanya. Kategori etnis merupakan kategori sosial-budaya. Ia muncul karena aktivitas sosial satu manusia dengan manusia lainnya.
Dalam keseharian, seringkali kita melihat atau bahkan mendapatkan perlakuan tidak adil. Tidak jarang kita mengenal dosen yang pilih kasih dan hanya bersedia membimbing mahasiswa yang dianggapnya pandai atau menghadapi pemilik usaha yang hanya menerima pekerja yang seagama dengannya. Pembedaan perlakuan tersebut, yang meskipun tampak sepele dan remeh, adalah bentuk diskriminasi.
Perbedaan ras dalam sejarah umat manusia sampai kini, telah menimbulkan diskriminasi, apartheid, perbudakan, bahkan genosida kepada kelompok masyarakat tertentu di berbagai belahan dunia. Tulisan ini menjelaskan apa itu ras, serta bagaimana konsep ras dikonstruksi di dalam masyarakat sehingga terjadi berbagai ketidakadilan.
Untuk sebagian besar warga kota New York, pertanyaan yang mungkin sering mengawali banyak cerita adalah: “Where were you on 9/11?”. Di mana kamu ketika Tragedi 11 September 2001 terjadi? Tapi, buat saya, dan mungkin sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia, pertanyaan serupa adalah: “Di mana kamu saat Mei ‘98?”